BERTAMASYA KE KEBUN ORGANIK

Saturday, November 1, 2008

Makanan organik tidak sebatas makanan yang tidak terkontaminasi pestisida atau pupuk kimia buatan lainnya,lho. Bukan hanya komoditasnya yang alami, ekosistem perkebunan organik juga harus alami. Itu sebabnya perkebunan organik juga bisa menjadi destinasi menarik eduwisata.

Rasa penat setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 2,5 jam dari Surabaya, hilang begitu kami memasuki wilayah Batu. Udara segar pegunungan langsung menyapa begitu kami tiba di kota ini. Segarnya hawa pegunungan itu seolah memberi efek relaksasi, dan “mengusir” semua racun yang mengendap dalam tubuh dari udara Surabaya yang telah terkontaminasi.
Bukan tanpa sebab jika kami begitu bersemangat ketika berkunjung ke kota ini. Kota Batu sudah lama menyandang predikat sebagai kota peristirahatan. Kota ini dijuluki “Swiss Kecil di Pulau Jawa” karena hawa pegunungannya yang sejuk. Ditambah dengan tanahnya yang subur, membuat kota yang terletak 15 km di sebelah barat Kota Malang berkembang sebagai kawasan agropolitan. Industri pertanian berkembang cukup pesat, dengan beberapa komoditas andalan seperti apel, sayuran, dan bawang putih.

Bukan sekadar organik
Tak berapa lama, pengelola kebun pun tiba mengendarai Mitsubishi L300 bak terbuka. Ia baru saja datang dari Bromo, membawa pulang dua buah bibit pohon walisongo. Setelah diperkenalkan oleh Chef Chris, Danang Purcahyo, Site Coordinator Herbal Estate, langsung mengajak kami berkeliling kebun yang asri dan hijau itu. Tak lupa ia juga berbagi kisah seputar perkebunan organik.

“Banyak orang yang masih menganggap makanan organik itu sebagai makanan yang tidak diberi pestisida dan pupuk kimia buatan lainnya,” terang Danang membuka pembicaraan. “Padahal, kalau kita bicara perkebunan organik, itu juga mencakup bagaimana membangun ekosistem perkebunan yang alami,” lanjutnya.

Danang kemudian bercerita panjang lebar mengenai kesalahan persepsi yang selama ini ada seputar makanan dan pertanian organik. Salah satunya tentang ekosistem alami itu. Menurutnya, ekosistem alami tidak hanya berkutat pada tanaman yang dibudidayakan saja, tetapi melingkupi semua unsur yang ada dalam perkebunan itu. Baik tanaman dan hewan, termasuk di dalamnya tumbuhan serta hewan pengganggu. Semua unsur itu harus ada untuk membentuk rantai makanan dan menjamin keseimbangan di dalam lingkungan kebun organik tersebut.

Itu sebabnya, menurut Danang, ketika mengembangkan perkebunan organik, selain menanam tanaman budidaya, pengelola perkebunan juga harus menyediakan tanaman penyangga. Karena pertanian organik tidak menggunakan pestisida dan sejenisnya untuk memerangi hama, maka pengendali hama itu diperoleh dari musuh alami hama tersebut.

Beragam Warna Pada Satu Petak
Setelah melihat-lihat proses pembibitan di greenhouse, kami kemudian diajak untuk berkeliling ke areal perkebunan Herbal Estate lainnya. Semuanya ada 62 jenis tanaman yang dibudidayakan di perkebunan ini, yang terdiri atas sayur, herbs dan bunga. Berbeda dengan pertanian umum, di mana satu petak tanah diperuntukkan hanya bagi satu jenis tumbuhan, pada pertanian organik penanaman itu dikombinasikan antara tanaman utama dan tanaman penolak. Caranya mirip pola tumpang sari.

Sebagai contoh, pada satu petak tanah yang ditanami lettuce juga ditanami kacang panjang. Selain bisa dipanen, kacang panjang itu berfungsi pula sebagai kontrol hama. Dengan pola ini, bisa dibayangkan bila keuntungan yang diperoleh dari pertanian organik bisa berlipat-lipat. Selain karena mampu menghemat pengeluaran yang tidak memerlukan bahan kimia untuk memaksimalkan hasil panen, semua tanaman yang ditanam juga memberi manfaat. *kario harahap

0 comments: